Jumat, 10 Mei 2013

CONTOH makalah SKPG



BAB 3. PEMBAHASAN
Dalam jurnal yang berjudul “Sistem Jaringan DeteksiDini Wilayah Rawan Pangan dalam Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan”, di bagian Hasil dan Pembahasan disebutkan bahwa, sistem kelembagaan jaringan deteksi dini wilayah rawan pangan dalam operasionalnya dilakukan melalui program SKPG. Hal tersebut sesuai, karena dalam SKPG, berdasarkan pengertiannya yaitu sistem informasi yang dapat digunakan sebagai alat bagi pemerintah daerah untuk mengetahui situasi pangan dan gizi masyarakat (www.deptan.go.id), atau sistem monitoring yang meliputi serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian kerawanan pangan dan gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi (Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor: 43/ Permentan/OT.140/7/2010 Tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi), hasil yang didapat dari pelaksanaannya, salah satunya adalah tersedianya peta kecamatan daerah rawan pangan dan gizi (www.deptan.go.id).
Selanjutnya, dalam jurnal disebutkan bahwa, terdapat tiga kata kunci dalam pelaksanaan SKPG yaitu, data dan informasi tentang situasi pangan dan gizi secara berkesinambungan di wilayah, pengambilan keputusan dan tindakan secara tepat untuk penanggulangan masalah pangan dan gizi di wilayah bersangkutan, dan bahan perencanaan, pengolahan dan evaluasi program pangan dan gizi. Ketiga hal tersebut kurang sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor: 43/ Permentan/OT.140/7/2010 Tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, yang menyebutkan bahwa hal penting dalam pelaksanaan SKPG, antara lain pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi. Sehingga, ranah dari SKPG hanya  sampai pada penyebaran informasi situasi pangan dan gizi yang prosedur pelaporannya telah dijelaskan dalam pedoman pelaksaaan SKPG untuk masing-masing tingkat wilayah, baik pusat, provinsi, kabupaten dan/atau kota. SKPG tidak sampai pada proses pengambilan keputusan dan tindakan secara tepat untuk penanggulangan masalah pangan dan gizi di wilayah, namun SKPG hanya memberikan informasi yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan tindakan penanggulangan. Lebih lanjut, dalam Pedoman SKPG Provinsi disebutkan pula bahwa hasil dari SKPG dapat berupa laporan, rekomendasi kebijakan, dan perencanaan program yang berkaitan dengan pangan dan gizi. Selain itu, informasi yang didapat dari SKPG sebenarnya dapat juga digunakan sebagai bahan perencanaan, pengolahan dan evaluasi program pangan dan gizi, dimana dalam jurnal juga telah disebutkan.
Lebih lanjut, dalam jurnal disebutkan bahwa pelaksanaan SKPG dapat dibagi dalam tiga subsistem, antara lain SKPP (Sistem Kewaspadaan Produksi dan Ketresediaan Pangan) yang dilaksanakan oleh sektor pertanian, SKDP (Sistem Kewaspadaan Distribusi Pangan) yang dilaksanakan oleh BULOG, dan SKKG (Sistem Kewaspadaan Konsumsi dan Gizi) yang dilaksanakan oleh sektor kesehatan. Dalam hal ini, maksud dari tiga subsistem tersebut merupakan indikator dalam melaksanakan analisis situasi pangan dan gizi seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor: 43/ Permentan/ OT.140/7/2010 Tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, antara lain :
1.      indikator ketersediaan pangan,
2.      indikator akses pangan, dan
3.      indikator pemanfaatan pangang
Dalam kerangka tanggung jawab, terdapat instansi yang berkutat didalamnya, yaitu Dinas,Pertanian, BULOG, dan Dinas Kesehatan untuk masing-masing indikator atau subsistem. Setiap subsistem saling terkait dalam pelaksanaan SKPG.
Dalam jurnal disebutkan bahwa, terdapat BPS yang berperan dalam pengumpulan dan penyebaran informasi. Sebenarnya, dalam  Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor : 43/Permentan/OT.140/7/2010 Tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi telah ada prosedur pelaporan tertentu. Khusus untuk Daerah setingkat Provinsi, telah ada pedoman dalam pelaporan hasil SKPG, yaitu pada bab II poin D.
Selnajutnya, dalam jurnal Sistem Jaringan Deteksi Dini Wilayah Rawan Pangan dalam Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan”, dijelaskan bahwa SKPG telah dilaksanakan sejak Pelita III (awal tahun 80-an) dimana pada waktu itu sistem tersebut diterapkan untuk mencegah timbulnya keadaaan gizi buruk di kalangan penduduk terutama di daerah rawan pangan.
Sebenarnya, kegiatan perencanaan gizi di Indonesia telah mulai dilakukan dari Pelita I. Memang pada awal-awal pelaksanaannya, perencanaan gizi dilandasi oleh informasi yang sangat terbatas, berasal dari hasil-hasil penelitian di berbagai daerah, sehingga sering menggambarkan keadaan yang kurang tepat bagi seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian didorong oleh permasalahan yang dihadapi terutama masalah rawan pangan di berbagai daerah, memicu minat kalangan gizi di Indonesia untuk mulai melakukan kegiatan-kegiatan ke arah pengembangan suatu sistem sesuai dengan kebutuhan dan situasi di Indonesia. Pemerintah pun menganggap Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang hingga saat ini terus mengalami perkembangan.
Perkembangan dari SKPG perlu kiranya karena Indonesia telah banyak mengalami perubahan-perubahan sebagai sebuah negara. Beberapa diantaranya adalah krisis ekonomi dan asas desentralisasi yang berlaku saat ini.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan mengakibatkan semakin rawannya situasi pangan dan gizi masyarakat. Selain itu upaya desentralisasi memerlukan kemampuan daerah untuk merencanakan program penanggulangan masalah pangan dan gizi dengan data yang akurat dan ana1isis yang lebih komprehensif. Karena itu Departemen Kesehatan R.I. mela1ui Direktorat Bina Gizi Masyarakat bekerja sama dengan kementrian terkait telah mulai melakukan revita1isasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG).
Da1am upaya revitalisasi diperlukan informasi masa1ah yang dihadapi daerah da1am pengembangan SKPG serta peningkatan kemampuan daerah da1am mengembangkan SKPG. Pada tahun anggaran 1999/2000 Puslitbang Gizi telah melakukan studi operasiona1 SKPG dengan menggunakan tenaga peneliti di tingkat propinsi.
Karena alasan beragam dari belum selesai pelatihan tenaga pelaksana sampai kurang pengertian konsep SKPG serta kurang dukungan Pemda maka SKPG belum dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Namun sa1ah satu faktor penentu adalah adanya penggerak kegiatan SKPG di tingkat kabupaten. Kekeliruan pengertian konsep SKPG juga tidak terlepas dari ketidakjelasan petunjuk teknis yang dibagikan kepada pelaksana SKPG baik di pusat, propinsi maupun di kabupaten, terutama yang berkaitan dengan fungsi setiap kegiatan SKPG. Karena masalah administrasi atau kurang keterbukaan di beberapa daerah, data pertanian tidak dapat disediakan untuk pelaksanaan pemetaan maupun untuk perama1an.
SKPG masih dianggap milik kesehatan karena dananya dari kesehatan, akibatnya sektor kesehatanlah yang umumnya menjadi penggerak kegiatan SKPG. Dari semua ini kasus gizi buruk merupakan pemicu yang menarik perhatian kepala daerah untuk melakukan upaya penanggulangan gizi. Umumnya kegiatan ilmiah yang menjadi titik tolak kegiatan SKPG, namun tidak semua daerah mampu memanfaatkan ini. Ada yang hanya sampai kepada penyediaan dana untuk penatalaksanaan gizi buruk di rumah sakit.
Agar SKPG berjalan dengan baik perlu dilakukan:
1.      Pendekatan, advokasi, sosialisasi kepada daerah dan DPRD.
2.      Diperlukan sekretariat dengan ruang khusus untuk SKPG dengan tenaga yang selalu mengingatkan laporan, analisis data dan pertemuan tim.
3.      Perlu tenaga penggerak SKPG yang mengerti SKPG dapat mendekati kepala daerah dan dapat berkomunikasi dengan pelaksana SKPG di kabupaten.
4.      Perlu dipersiapkan tim yang dapat memberikan bimbingan teknis dan manajemen kepada daerah setiap daerah membutuhkan, di luar tim pelaksana SKPG propinsi yang sudah terlalu sibuk dengan kegiatan/ program gizi.
Pelaksanaan SKPG membutuhkan berbagai macam instansi terkait, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pertania, Dinas Sosial, Dinas Perindustrian dan Perdangan, serta badan-badan lain yang dapat menunjang pengumpulan, penganalisaan, bahkan penyaluran informasi dari data maupun hasil pelaksanaan SKPG.
Dalam era desentralisasi saat ini, sangatlah penting dukungan dari masing-masing pemegang kewenangan tertinggi tiap wilayah, baik mulai bupati dan/atau walikota, gubernur, hingga pemerintah pusat. Dukungan yang dimaksud tidak hanya perkataan alih-alih sebuah komitmen, namun benar-benar kebijaksanaan dalm mengukur sejauh mana kemampuan daerahnya dan batasan kewenangannya dalam melaksanakan komitmen yang tulus.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates