BAB 3. PEMBAHASAN
Dalam jurnal yang berjudul “Sistem Jaringan DeteksiDini Wilayah Rawan Pangan dalam Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan”, di bagian
Hasil dan Pembahasan disebutkan bahwa, sistem kelembagaan jaringan deteksi dini
wilayah rawan pangan dalam operasionalnya dilakukan melalui program SKPG. Hal
tersebut sesuai, karena dalam SKPG, berdasarkan pengertiannya yaitu sistem informasi yang dapat digunakan sebagai alat
bagi pemerintah daerah untuk mengetahui situasi pangan dan gizi masyarakat (www.deptan.go.id), atau sistem monitoring yang
meliputi serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian kerawanan pangan dan
gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran
informasi situasi pangan dan gizi (Peraturan
Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor: 43/
Permentan/OT.140/7/2010 Tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi),
hasil yang didapat dari pelaksanaannya, salah satunya adalah tersedianya
peta kecamatan daerah rawan pangan dan
gizi (www.deptan.go.id).
Selanjutnya, dalam jurnal
disebutkan bahwa, terdapat tiga kata kunci dalam pelaksanaan SKPG yaitu, data
dan informasi tentang situasi pangan dan gizi secara berkesinambungan di
wilayah, pengambilan keputusan dan tindakan secara tepat untuk penanggulangan
masalah pangan dan gizi di wilayah bersangkutan, dan bahan perencanaan,
pengolahan dan evaluasi program pangan dan gizi. Ketiga hal tersebut kurang
sesuai dengan Peraturan Menteri
Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor: 43/
Permentan/OT.140/7/2010 Tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi,
yang menyebutkan bahwa hal penting dalam pelaksanaan SKPG, antara lain pengumpulan, pemrosesan,
penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi.
Sehingga, ranah dari SKPG hanya sampai
pada penyebaran informasi situasi pangan dan gizi yang prosedur pelaporannya
telah dijelaskan dalam pedoman pelaksaaan SKPG untuk masing-masing tingkat
wilayah, baik pusat, provinsi, kabupaten dan/atau kota. SKPG tidak sampai pada
proses pengambilan keputusan dan tindakan secara tepat untuk penanggulangan
masalah pangan dan gizi di wilayah, namun SKPG hanya memberikan informasi yang
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan tindakan penanggulangan. Lebih
lanjut, dalam Pedoman SKPG Provinsi disebutkan pula bahwa hasil dari SKPG dapat
berupa laporan, rekomendasi kebijakan, dan perencanaan program yang berkaitan
dengan pangan dan gizi. Selain itu, informasi yang didapat dari SKPG sebenarnya
dapat juga digunakan sebagai bahan perencanaan, pengolahan dan evaluasi program
pangan dan gizi, dimana dalam jurnal juga telah disebutkan.
Lebih lanjut, dalam jurnal disebutkan bahwa
pelaksanaan SKPG dapat dibagi dalam tiga subsistem, antara lain SKPP (Sistem
Kewaspadaan Produksi dan Ketresediaan Pangan) yang dilaksanakan oleh sektor
pertanian, SKDP (Sistem Kewaspadaan Distribusi Pangan) yang dilaksanakan oleh
BULOG, dan SKKG (Sistem Kewaspadaan Konsumsi dan Gizi) yang dilaksanakan oleh
sektor kesehatan. Dalam hal ini, maksud dari tiga subsistem tersebut merupakan
indikator dalam melaksanakan analisis situasi
pangan dan gizi seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Pertanian/Ketua
Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor: 43/ Permentan/ OT.140/7/2010 Tentang
Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, antara lain :
1.
indikator
ketersediaan pangan,
2.
indikator akses
pangan, dan
3.
indikator pemanfaatan
pangang
Dalam
kerangka tanggung jawab, terdapat instansi yang berkutat didalamnya, yaitu
Dinas,Pertanian, BULOG, dan Dinas Kesehatan untuk masing-masing indikator atau
subsistem. Setiap subsistem saling terkait dalam pelaksanaan SKPG.
Dalam
jurnal disebutkan bahwa, terdapat BPS yang berperan dalam pengumpulan dan
penyebaran informasi. Sebenarnya, dalam
Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor :
43/Permentan/OT.140/7/2010 Tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi telah ada prosedur pelaporan tertentu. Khusus untuk
Daerah setingkat Provinsi, telah ada pedoman dalam pelaporan hasil SKPG, yaitu
pada bab II poin D.
Selnajutnya, dalam jurnal “Sistem Jaringan Deteksi
Dini Wilayah Rawan Pangan dalam Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan”,
dijelaskan bahwa SKPG telah dilaksanakan sejak Pelita III (awal tahun 80-an)
dimana pada waktu itu sistem tersebut diterapkan untuk mencegah timbulnya
keadaaan gizi buruk di kalangan penduduk terutama di daerah rawan pangan.
Sebenarnya,
kegiatan perencanaan gizi di Indonesia telah mulai
dilakukan dari Pelita I. Memang pada awal-awal pelaksanaannya, perencanaan gizi
dilandasi oleh informasi yang sangat terbatas, berasal dari hasil-hasil
penelitian di berbagai daerah, sehingga sering menggambarkan keadaan yang
kurang tepat bagi seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian didorong oleh permasalahan yang dihadapi
terutama masalah rawan pangan di berbagai daerah, memicu minat kalangan gizi di
Indonesia untuk mulai melakukan kegiatan-kegiatan ke arah pengembangan suatu
sistem sesuai dengan kebutuhan dan situasi di Indonesia. Pemerintah pun
menganggap Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang hingga saat ini terus
mengalami perkembangan.
Perkembangan
dari SKPG perlu kiranya karena Indonesia telah banyak mengalami
perubahan-perubahan sebagai sebuah negara. Beberapa diantaranya adalah krisis
ekonomi dan asas desentralisasi yang berlaku saat ini.
Krisis
ekonomi yang berkepanjangan mengakibatkan semakin rawannya situasi pangan dan
gizi masyarakat. Selain itu upaya desentralisasi memerlukan kemampuan daerah
untuk merencanakan program penanggulangan masalah pangan dan gizi dengan data
yang akurat dan ana1isis yang lebih komprehensif. Karena itu Departemen
Kesehatan R.I. mela1ui Direktorat Bina Gizi Masyarakat bekerja sama dengan
kementrian terkait telah mulai melakukan revita1isasi Sistem Kewaspadaan Pangan
dan Gizi (SKPG).
Da1am upaya
revitalisasi diperlukan informasi masa1ah yang dihadapi daerah da1am
pengembangan SKPG serta peningkatan kemampuan daerah da1am mengembangkan SKPG.
Pada tahun anggaran 1999/2000 Puslitbang Gizi telah melakukan studi operasiona1
SKPG dengan menggunakan tenaga peneliti di tingkat propinsi.
Karena alasan
beragam dari belum selesai pelatihan tenaga pelaksana sampai kurang pengertian
konsep SKPG serta kurang dukungan Pemda maka SKPG belum dilaksanakan sesuai
dengan yang diharapkan. Namun sa1ah satu faktor penentu adalah adanya penggerak
kegiatan SKPG di tingkat kabupaten. Kekeliruan pengertian konsep SKPG juga
tidak terlepas dari ketidakjelasan petunjuk teknis yang dibagikan kepada
pelaksana SKPG baik di pusat, propinsi maupun di kabupaten, terutama yang
berkaitan dengan fungsi setiap kegiatan SKPG. Karena masalah administrasi atau
kurang keterbukaan di beberapa daerah, data pertanian tidak dapat disediakan
untuk pelaksanaan pemetaan maupun untuk perama1an.
SKPG masih
dianggap milik kesehatan karena dananya dari kesehatan, akibatnya sektor
kesehatanlah yang umumnya menjadi penggerak kegiatan SKPG. Dari semua ini kasus
gizi buruk merupakan pemicu yang menarik perhatian kepala daerah untuk
melakukan upaya penanggulangan gizi. Umumnya kegiatan ilmiah yang menjadi titik
tolak kegiatan SKPG, namun tidak semua daerah mampu memanfaatkan ini. Ada yang
hanya sampai kepada penyediaan dana untuk penatalaksanaan gizi buruk di rumah
sakit.
Agar SKPG
berjalan dengan baik perlu dilakukan:
1.
Pendekatan, advokasi, sosialisasi kepada daerah dan
DPRD.
2.
Diperlukan sekretariat dengan ruang khusus untuk SKPG
dengan tenaga yang selalu mengingatkan laporan, analisis data dan pertemuan
tim.
3.
Perlu tenaga penggerak SKPG yang mengerti SKPG dapat
mendekati kepala daerah dan dapat berkomunikasi dengan pelaksana SKPG di
kabupaten.
4.
Perlu dipersiapkan tim yang dapat memberikan bimbingan
teknis dan manajemen kepada daerah setiap daerah membutuhkan, di luar tim
pelaksana SKPG propinsi yang sudah terlalu sibuk dengan kegiatan/ program gizi.
Pelaksanaan
SKPG membutuhkan berbagai macam instansi terkait, seperti Dinas Kesehatan,
Dinas Pertania, Dinas Sosial, Dinas Perindustrian dan Perdangan, serta
badan-badan lain yang dapat menunjang pengumpulan, penganalisaan, bahkan
penyaluran informasi dari data maupun hasil pelaksanaan SKPG.
Dalam era desentralisasi
saat ini, sangatlah penting dukungan dari masing-masing pemegang kewenangan
tertinggi tiap wilayah, baik mulai bupati dan/atau walikota, gubernur, hingga
pemerintah pusat. Dukungan yang dimaksud tidak hanya perkataan alih-alih sebuah
komitmen, namun benar-benar kebijaksanaan dalm mengukur sejauh mana kemampuan
daerahnya dan batasan kewenangannya dalam melaksanakan komitmen yang tulus.
0 komentar:
Posting Komentar