Geliat Kehidupan di “Pedalaman Kalimantan” Kabupaten Jember
Mbah Da : Tukang Pijat yang Penuh Semangat
Tatapannya
penuh binar, meski guratan-guratan halus di keningnya tak mampu menyembunyikan
betapa waktu telah lama berlalu di belakang riwayat hidupnya. Sesekali Mbah Da
tersenyum tulus menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang terkadang pahit untuk
dijawabnya.
Siang itu,
rumah berdinding kayu milik Mbah Da di tepi jalan setapak terlihat sepi.
Beberapa ketukan keras di daun pintu tidak juga mampu membangunkan sosok wanita
tua yang terbaring pulas di dalam rumah itu. Tubuh ringkihnya terkulai di atas
lantai yang dialasi tikar sekadarnya.
Tanpa bantal yang menyangga kepalanya ataupun selimut yang menyelimuti
tubuhnya, wanita tua itu tetap tertidur dengan pulas.
Sempat
terpikir untuk tidak sampai hati membangunkan beliau, namun tiba-tiba sesosok
anak kecil keluar dengan tergesa-gesa dari arah dapur. Dia adalah Dian , cucu
Mbah Da yang masih berumur 12 tahun. Dian segera membukakan pintu kayu yang
mulai rapuh tersebut. Ruang tamu yang menyambung dengan ruang keluarga tersebut
terlihat terang, sinar matahari masuk bebas melalui dua buah jendela besar
tanpa teralis yang ada di samping pintu depan. Gorden yang warnanya tampak
pudar dan lusuh terbuka lebar dikaitkan dengan seuntai tali pada paku tepi
jendela.
Lantai dari
ruangan tersebut merupakan seakan telah rusak termakan usia, sehingga ada
beberapa bagian yang memperlihatkan tanah aslinya. Meskipun begitu, rumah itu
terlihat bersih, tidak ada barang berserakan di sudut-sudutnya, hanya beberapa
puntung dan sebuah bungkus rokok yang jatuh di pojokan lantai. Ruangan itu hanya
diisi dengan sebuah lemari, sebuah meja, dan beberapa kursi yang bantalannya
telah rusak.
Segera
mungkin, Dian membangunkan Mbah Da. Beliau langsung terjaga dan duduk di atas
tikar, “mrene’o nak!” seru beliau
seraya tersenyum. Selanjutnya, Mbah Da bercerita
mengenai kehidupan perantauannya di Jember. Mbah Da yang bernama asli Daisah ini
sebenarnya merupakan warga Rambipuji. Mbah Da kemudian memutuskan untuk
merantau ke daerah Sumbersari, “aranane
wong jowo iku, nggolek suket ijo, nduk” jelasnya.
Di tempat
perantauan ini, Mbah Da bekerja apapun yang bisa dikerjakan, namun salah satu
yang beliau geluti sampai saat ini adalah sebagai tukang pijat. Jika rezeki
memihak kepadanya, Mbah Da bisa melayani tiga hingga lima orang pelanggan.
Setiap kali memijat, beliau terkadang diberi ongkos 35.000 rupiah, hal ini pun
bukan tarif mutlak. Beliau sebenarnya tidak menetapkan tarif untuk setiap kali
memijat, berapapun uang yang diberikan kepadanya akan diterima dengan hati
iklhas. Perlu untuk diketahui bahwa tidak setiap hari pelanggan yang memanggilnya sebanyak yang disebutkan sebelumnya, bahkan sering
tidak ada seorang pun yang memanggilnya untuk dipijat.
Oleh karena
keadaan tersebut, penghasilan Mbah Da tiap harinya tidak menentu. Wanita yang
memiliki lima orang anak tersebut, mengaku terkadang penghasilan yang didapatnya tidak mencukupi
kebutuhan keluarganya per hari. Dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,
Mbah Da dibantu oleh suaminya,nkeduanya sama-sama telah berusia lanjut. Ketika
ditanya mengenai kapan beliau lahir, Mbah Da hanya tertawa sembari berkata “ Lek wong biyen iku, mosok ngerti lahir’e
kapan to , nduk”. Berdasarkan perkiraan beliau, umur keduanya berkisar 70
tahunan.
Lebih lanjut,
Mbah Da menceritakan tentang suaminya. Mbah Kar, panggilan akrabnya merupakan
pemancal becak. Meski telah berumur cukup tua dan tuntutan kebutuhan, beliau
hingga kini masih menjalani profesinya itu. Menuruh Mbah Da, suaminya tersebut
biasa mangkal di sekitar Gedung DPR Jember. Sedangkan untuk penghasilan dari
suaminya, Mbah Da menjawab dengan lesu bahwa uang yang didapat tidak menentu,
terkadang hanya 10.000 rupiah, bahkan seringkali tidak sampai sebesar itu.
Beliau merasa
iri dengan tetangga belakang rumahnya yang mendapat bantuan langsung tunai atau
BLT dari pemerintah tiap bulan. Mbah Da mengaku tidak pernah mendapat BLT,
bantuan yang dia dapatkan hanyalah raskin. Beras sebanyak tiga kilogram ini
tidak diberikan secara berkala dan dalam proses pengambilannya harus mengganti
dengan uang sebesar 7.000 rupiah ke pengurus RT. Raskin ini harus dicampur
dengan beras yang dijual di pasar pada umumnya. Hal ini dikarenakan beras
raskin tidak enak dikonsumsi langsung tanpa mencampur dengan beras yang dibeli.
Penghasilan
total keluarga Mbah Da tiap harinya tidak menentu. Namun, hal ini tidak terlalu
memberatkan beliau dan suaminya, karena saat ini yang menjadi tanggung jawab
dari Mbah Da dan suaminya hanyalah seorang cucu dan uang sewa tanah sebesar
100.000 rupiah per tahunnya. Kelima anaknya telah dewasa dan memiliki kehidupan
masing-masing. Ada beberapa diantaranya yang merantau jauh, hingga ke negeri
jiran. Mengenai kelima anaknya, Mbah Da mengaku merasa bangga, karena
setidaknya anak-anaknya telah mengecap pendidikan yang lebih tinggi dari
dirinya dan suaminya. Selain itu, dalam pemenuhan kebutuhan akan pangan setiap
harinya, Mbah Da mengaku dibantu oleh tetangga sekitarnya yang mampu dan peduli
pada keluarganya.
Lebih lanjut, karena ada beberapa puntung dan sebungkus rokok yang
terjatuh di lantai, muncullah pertanyaan yang cukup menggelitik Mbah Da hingga
membuat dirinya tertawa terbahak, “iku aku
o nduk sing ngrokok, malah mbah kakung’e sing ngak ngrokok”. Jawabannya
yang tak terduga itu menimbulkan pertanyaan yang lebih intens dan mengungkap
beberapa fakta bahwa betapa sulitnya untuk berhenti merokok.
Mbah Da
bercerita bahwa dirinya telah mengenal rokok sejak kecil, “yo ket lahir, nduk aku ngrokok” ujarnya seraya tertawa. Mbah Da
mengaku awalnya dia mengkonsumsi hampir satu pak rokok per harinya. Namun,
karena beliau menderita sesak dan hipertensi, Mbah Da mulai menghilangkan
kebiasaan merokoknya dengan mengurangi jumlah batang rokok yang dikonsumsinya
setiap hari. “Saiki mek loro, nduk”
ujarnya serius. Berdasarkan pengakuannya, dua batang rokok itu biasanya dihisap
setiap pagi hari dan sore, yaitu saat dimana lidah Mbah Da mulai terasa pa\hit.
Sesak dan
hipertensi yang diderita Mbah Da biasanya tidak ditangani oleh petugas medis.
Namun, Mbah Da atasi dengan istirahat dan meminum jamu gendong yang terkadang
lewat depan rumahnya. Apabila rasa sakit yang dirasa terlalu berat dan tidak
lagi mempan diatasinya sendiri, Mbah Da segera memeriksakan ke petugas medis,
satu orang yang dia sebut adalah Pak Bunder. “Aku sering mrono, nduk. Pak Bunder iku...” jawabnya sambil jari telunjuknya
menunjuk ke arah Timur. Beliau mengaku memiliki kartu Jamkesmas, yang biasanya
digunakan untuk berobat ke Pak Bunder itu. Kartu itu mampu membebaskannya atas
segala tanggungan biaya berobat. Kartu Jamkesmas yang beliau miliki, didapatnya
dari petugas kesehatan yang berkunjung langsung ke rumahnya. Keberadaan dari
kartu itu dirasa sangat membantu bagi Mbah Da.
Sebenarnya,
banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu keluarga-keluarga ataupun orang
kurang mampu seperti Mbah Da dan keluarganya. Misalnya saja, kartu Jamkesmas,
BLT, Raskin, ataupun uluran tangan warga sekitar yang mampu dan peduli.
Seperti yang
kita ketahui, Indonesia sendiri merupakan negara dimana mayoritas penduduknya
adalah muslim. Ada beberapa hal dalam ajaran islam, seperti zakat yang dapat
membantu dalam meng”cover” orang
kurang mampu yang ada disekitar kita. Selain itu, budaya yang tumbuh di negara
kita merupakan budaya yang penuh dengan solidaritas dan tepa selira, dimana masyarakat merupakan pemeran utama yang perlu
aktif untuk merentas kemiskinan yang ada di sekitar kita. Kesadaran akan sesama
yang muncul dari tiap-tiap individu dapat menumbuhkan kesadaran dalam skala
yang lebih besar dan menyeluruh.
0 komentar:
Posting Komentar