Jumat, 10 Mei 2013

piece of our world where we untouch



Geliat Kehidupan di  “Pedalaman Kalimantan” Kabupaten Jember

Mbah Da : Tukang Pijat yang Penuh Semangat

 
Tatapannya penuh binar, meski guratan-guratan halus di keningnya tak mampu menyembunyikan betapa waktu telah lama berlalu di belakang riwayat hidupnya. Sesekali Mbah Da tersenyum tulus menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang terkadang pahit untuk dijawabnya.
Siang itu, rumah berdinding kayu milik Mbah Da di tepi jalan setapak terlihat sepi. Beberapa ketukan keras di daun pintu tidak juga mampu membangunkan sosok wanita tua yang terbaring pulas di dalam rumah itu. Tubuh ringkihnya terkulai di atas lantai yang dialasi tikar sekadarnya.  Tanpa bantal yang menyangga kepalanya ataupun selimut yang menyelimuti tubuhnya, wanita tua itu tetap tertidur dengan pulas.
Sempat terpikir untuk tidak sampai hati membangunkan beliau, namun tiba-tiba sesosok anak kecil keluar dengan tergesa-gesa dari arah dapur. Dia adalah Dian , cucu Mbah Da yang masih berumur 12 tahun. Dian segera membukakan pintu kayu yang mulai rapuh tersebut. Ruang tamu yang menyambung dengan ruang keluarga tersebut terlihat terang, sinar matahari masuk bebas melalui dua buah jendela besar tanpa teralis yang ada di samping pintu depan. Gorden yang warnanya tampak pudar dan lusuh terbuka lebar dikaitkan dengan seuntai tali pada paku tepi jendela.
Lantai dari ruangan tersebut merupakan seakan telah rusak termakan usia, sehingga ada beberapa bagian yang memperlihatkan tanah aslinya. Meskipun begitu, rumah itu terlihat bersih, tidak ada barang berserakan di sudut-sudutnya, hanya beberapa puntung dan sebuah bungkus rokok yang jatuh di pojokan lantai. Ruangan itu hanya diisi dengan sebuah lemari, sebuah meja, dan beberapa kursi yang bantalannya telah rusak.
Segera mungkin, Dian membangunkan Mbah Da. Beliau langsung terjaga dan duduk di atas tikar, “mrene’o nak!” seru beliau seraya tersenyum.  Selanjutnya, Mbah Da bercerita mengenai kehidupan perantauannya di Jember. Mbah Da yang bernama asli Daisah ini sebenarnya merupakan warga Rambipuji. Mbah Da kemudian memutuskan untuk merantau ke daerah Sumbersari, “aranane wong jowo iku, nggolek suket ijo, nduk” jelasnya.
Di tempat perantauan ini, Mbah Da bekerja apapun yang bisa dikerjakan, namun salah satu yang beliau geluti sampai saat ini adalah sebagai tukang pijat. Jika rezeki memihak kepadanya, Mbah Da bisa melayani tiga hingga lima orang pelanggan. Setiap kali memijat, beliau terkadang diberi ongkos 35.000 rupiah, hal ini pun bukan tarif mutlak. Beliau sebenarnya tidak menetapkan tarif untuk setiap kali memijat, berapapun uang yang diberikan kepadanya akan diterima dengan hati iklhas. Perlu untuk diketahui bahwa tidak setiap hari  pelanggan yang memanggilnya sebanyak  yang disebutkan sebelumnya, bahkan sering tidak ada seorang pun yang memanggilnya untuk dipijat.
Oleh karena keadaan tersebut, penghasilan Mbah Da tiap harinya tidak menentu. Wanita yang memiliki lima orang anak tersebut, mengaku terkadang  penghasilan yang didapatnya tidak mencukupi kebutuhan keluarganya per hari. Dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Mbah Da dibantu oleh suaminya,nkeduanya sama-sama telah berusia lanjut. Ketika ditanya mengenai kapan beliau lahir, Mbah Da hanya tertawa sembari berkata “ Lek wong biyen iku, mosok ngerti lahir’e kapan to , nduk”. Berdasarkan perkiraan beliau, umur keduanya berkisar 70 tahunan.
Lebih lanjut, Mbah Da menceritakan tentang suaminya. Mbah Kar, panggilan akrabnya merupakan pemancal becak. Meski telah berumur cukup tua dan tuntutan kebutuhan, beliau hingga kini masih menjalani profesinya itu. Menuruh Mbah Da, suaminya tersebut biasa mangkal di sekitar Gedung DPR Jember. Sedangkan untuk penghasilan dari suaminya, Mbah Da menjawab dengan lesu bahwa uang yang didapat tidak menentu, terkadang hanya 10.000 rupiah, bahkan seringkali tidak sampai sebesar itu.
Beliau merasa iri dengan tetangga belakang rumahnya yang mendapat bantuan langsung tunai atau BLT dari pemerintah tiap bulan. Mbah Da mengaku tidak pernah mendapat BLT, bantuan yang dia dapatkan hanyalah raskin. Beras sebanyak tiga kilogram ini tidak diberikan secara berkala dan dalam proses pengambilannya harus mengganti dengan uang sebesar 7.000 rupiah ke pengurus RT. Raskin ini harus dicampur dengan beras yang dijual di pasar pada umumnya. Hal ini dikarenakan beras raskin tidak enak dikonsumsi langsung tanpa mencampur dengan beras yang dibeli.
Penghasilan total keluarga Mbah Da tiap harinya tidak menentu. Namun, hal ini tidak terlalu memberatkan beliau dan suaminya, karena saat ini yang menjadi tanggung jawab dari Mbah Da dan suaminya hanyalah seorang cucu dan uang sewa tanah sebesar 100.000 rupiah per tahunnya. Kelima anaknya telah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing. Ada beberapa diantaranya yang merantau jauh, hingga ke negeri jiran. Mengenai kelima anaknya, Mbah Da mengaku merasa bangga, karena setidaknya anak-anaknya telah mengecap pendidikan yang lebih tinggi dari dirinya dan suaminya. Selain itu, dalam pemenuhan kebutuhan akan pangan setiap harinya, Mbah Da mengaku dibantu oleh tetangga sekitarnya yang mampu dan peduli pada keluarganya.
Lebih lanjut, karena ada beberapa puntung dan sebungkus rokok yang terjatuh di lantai, muncullah pertanyaan yang cukup menggelitik Mbah Da hingga membuat dirinya tertawa terbahak, “iku aku o nduk sing ngrokok, malah mbah kakung’e sing ngak ngrokok”. Jawabannya yang tak terduga itu menimbulkan pertanyaan yang lebih intens dan mengungkap beberapa fakta bahwa betapa sulitnya untuk berhenti merokok.
Mbah Da bercerita bahwa dirinya telah mengenal rokok sejak kecil, “yo ket lahir, nduk aku ngrokok” ujarnya seraya tertawa. Mbah Da mengaku awalnya dia mengkonsumsi hampir satu pak rokok per harinya. Namun, karena beliau menderita sesak dan hipertensi, Mbah Da mulai menghilangkan kebiasaan merokoknya dengan mengurangi jumlah batang rokok yang dikonsumsinya setiap hari. “Saiki mek loro, nduk” ujarnya serius. Berdasarkan pengakuannya, dua batang rokok itu biasanya dihisap setiap pagi hari dan sore, yaitu saat dimana lidah Mbah Da mulai terasa pa\hit.
Sesak dan hipertensi yang diderita Mbah Da biasanya tidak ditangani oleh petugas medis. Namun, Mbah Da atasi dengan istirahat dan meminum jamu gendong yang terkadang lewat depan rumahnya. Apabila rasa sakit yang dirasa terlalu berat dan tidak lagi mempan diatasinya sendiri, Mbah Da segera memeriksakan ke petugas medis, satu orang yang dia sebut adalah Pak Bunder. “Aku sering mrono, nduk. Pak Bunder iku...” jawabnya sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah Timur. Beliau mengaku memiliki kartu Jamkesmas, yang biasanya digunakan untuk berobat ke Pak Bunder itu. Kartu itu mampu membebaskannya atas segala tanggungan biaya berobat. Kartu Jamkesmas yang beliau miliki, didapatnya dari petugas kesehatan yang berkunjung langsung ke rumahnya. Keberadaan dari kartu itu dirasa sangat membantu bagi Mbah Da.
Sebenarnya, banyak hal yang dapat dilakukan untuk membantu keluarga-keluarga ataupun orang kurang mampu seperti Mbah Da dan keluarganya. Misalnya saja, kartu Jamkesmas, BLT, Raskin, ataupun uluran tangan warga sekitar yang mampu dan peduli.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia sendiri merupakan negara dimana mayoritas penduduknya adalah muslim. Ada beberapa hal dalam ajaran islam, seperti zakat yang dapat membantu dalam meng”cover” orang kurang mampu yang ada disekitar kita. Selain itu, budaya yang tumbuh di negara kita merupakan budaya yang penuh dengan solidaritas dan tepa selira, dimana masyarakat merupakan pemeran utama yang perlu aktif untuk merentas kemiskinan yang ada di sekitar kita. Kesadaran akan sesama yang muncul dari tiap-tiap individu dapat menumbuhkan kesadaran dalam skala yang lebih besar dan menyeluruh.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates